Banyak versi Babad Tanah Jawi ini punya banyak versi. Menurut ahli sejarah Hoesein Djajadiningrat, kalau mau disederhanakan, keragaman versi itu dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, babad yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III. Tulisan Braja ini lah yang kemudian diedarkan untuk umum pada 1788.
Review 1: Sejarah tanah jawa dalam bahasa jawa berjudul Punika Serat babad Tanah Jawi Wiwit Saking nabi Adam Domoegi ing Taoen 1641 dan disusun dalam edisi Belanda oleh W.L. Olthof di Leiden pada 1941. Buku ini sejarah versi kerajaan Mataram. Menarik karena dalam kosmologi Jawa ternyata orang Jawa juga mempunyai pemikiran mengenai manusia pertama di dunia, yaitu Nabi Adam, yang berbeda dengan versi-versi yang sering kita dengar. Dalam satu kutipan: 'Inilah babad para raja di tanah jawa, mulai dar Nabi Adam, berputra Sis, Esis berputra Nurcahya, Nurcahya berputra Nurasa.Nurasa berputra Sanghyang Wening.Sanghyang Wening berputra Sanghyang Tunggal.Sanghyang Tunggal berputra Batar Guru. Batara Guru berputra lima bernama Batara Sambo,Batara Brama,Batara Maha-Dewa,Batara Wisnu,Dewi Sri.Ba. Tara Wisnu menjadi raja dipulau Jawa bergelar Prabu Set.
Kerajaan Batara Guru ada di Sura-Laya.' Sangat kaya dengan mitologi. Bagaimana dari Nabi Adam hingga bisa sambung ke dewa-dewa jaman Hindu. Kisah menarik lainnya adalah ketika Mataram menaklukan Sura-Baya (demikan cara menulisnya). Mataram kagum dengan keberanian orang Sura-Baya. Ada kisah pertempuran di Wana-Krama dimana Mataram dibantu Belanda (3 bregada - mungkin ini dari kata brigade) harus hancur menghadapi keberanian orang Surabaya. Kelemahan dari sejarah versi babad adalah perodesasi.
Tanpa tahun yang tertulis review 2: Babad Tanah Jawi adalah salah satu naskah kuno warisan budaya Indonesia. Isinya tentang sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa.
Bacaan ini cukup bisa memberikan gambaran perjalanan kerajaan di Jawa serta sedikit 'membuka tabir' tentang posisi dan kondisi sosiokultural masyarakat Jawa pada saat itu. Misalnya bagaimana masyarakat 'memuja' raja yang dianggap ditunjuk langsung oleh Tuhan - dasar feodalisme. Walaupun sekarang ini kita menganggap feodalisme adalah produk 'kuno' yang menentang kebebasan persamaan hak, di sini saya bisa melihat 'keindahan' dan kebahagiaan bawahan ketika berbakti pada rajanya. Satu ketenangan dalam penerimaan dan penyerahan diri. Babad Tanah Jawi dapat dijadikan salah satu sumber referensi sejarah namun tidak sepenuhnya. Penceritaan kebanyakan dipengaruhi unsur politis untuk 'membaik-baikan' penguasa pada saat itu.
Penulis naskah mungkin dipengaruhi oleh feodalisme pada saat itu. Namun sebagai karya sastra warisan budaya Indonesia, buku ini pantaslah harus dibaca. Banyak nilai-nilai keluhuran yang dapat kita ambil untuk memperkaya diri kita sebagai bangsa Indonesia.
'Babad Tanah Jawi' versi Rd. Yasadipura, diterbitkan pertama kali dari naskah aslinya dalam bentuk tembang Jawa dan menggunakan hrf Jawa oleh Bale Pustaka (sekarang Balai Pustaka), secara berurutan jilid 1 s/d jilid 31, tamat, mulai th. 1939 sampai th. 1941 di Batavia. Sayangnya ' rare book' hanya ada 2 bundel besar buku langka 'Babad Tanah Jawi' terbitan Bale Pustaka tersebut, masing2 terdiri dari jilid 16 s/d 24 dan jilid 25 s/d 31 tamat.
Setiap jilid berisi 80 halaman kecuali jilid 31 hanya 78 halaman, tamat. Gambar samping adalah halaman akhir jilid 28 digabung dengan halaman depan jilid 29. Bundelannya rapi seperti yang tampak pada gambar sebelah ini. Menjadi pertanyaan: apakah bundel ini langsung oleh Bale Pustaka atau oleh pemilik sebelumnya? Karena rare book juga pernah melihat buku yang tidak dibundel. Gambar dibawah kiri adalah halaman depan jilid 16, tertera judul dan jilidnya, serie nomer dan tahun penerbitannya, termasuk ada sub judul, tertulis: ' Ingkang Sinuhun Amangkurat II seda, dipun gentosiputra, pangeran Adpati Anom'.
Sedang pada gambar kanannya adalah jilid 31, tertulis: ' Kadaton Kartasura kapindhah dateng dusun Sala, ingkang lajeng nama Surakarta Hadiningrat'. Gambar samping adalah halaman akhir dari buku 'Babad Tanah Jawi' versi Rd. Yasadipura, alainea terakhir ditulis: 'Wonten dene ing Kartasureki, samantunira kinarya praja, sampun ing ngalih namane, ngantukaken karuhun, kala taksih dusun nireki, winastan Wanakarta, apan wus misuwur, mring sakathahing wong Jawa, wus sing Kartasura yen ing ngalih nami, winastan Wanakarta'. Selanjutnya ada keterangan tambahan dibawahnya, tertulis: 'Lajeng nyandhak Babad: Giyanti, jilid 1'. Maksudnya, Babad Tanah Jawi ini selesai, dilanjutkan dengan Babad Giyanti jilid 1.